Pusat Studi Fakultas Hukum UI Tolak Perppu Ormas, Ini Alasannya

Halaman Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) menolak keras Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017 yang lalu.

Perppu ini menurut PSHTN membuka peluang kepada Pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang dengan membubarkan Ormas yang secara subyektif dianggap Pemerintah bertentangan dengan Pancasila, tanpa melalui proses peradilan.

Hal ini, bagi PSHTN, sama artinya  dengan kemunduran demokrasi di tanah air, jauh sebelum ide reformasi terpikir oleh mahasiswa, sehingga PSHTN menganggap Perppu tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Setidaknya lembaga yang diketuai Mustafa Fakhri itu memiliki lima alasan untuk menolak Perppu tersebut, sebagaimana rilis yang diterima redaksi pada Sabtu (15/7).

Pertama, penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 harus dibentuk berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan mengacu kepada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam hal ini, Perppu tersebut tidak memiliki urgensi untuk dibentuk karena tidak ada kegentingan yang memaksa sehingga Presiden perlu menerbitkan Perppu tentang Ormas

Baca Juga

Kedua, substansi Perppu sangat berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia karena membatasi hak berserikat dan berkumpul bagi warga negara. Perppu ini juga berpotensi menimbulkan kepemimpinan yang otoriter karena proses pembubaran Ormas tidak melalui suatu proses hukum melalui lembaga peradilan.

Lebih dari itu, pemerintah juga harus membiasakan diri dalam membentuk norma yang menerapan sanksi pidana, tidak boleh tanpa adanya persetujuan dari lembaga perwakilan. Kita akan setback jauh ke masa lampau manakala membiarkan organ eksekutif menerapkan sanksi pidana dan memenjarakan warga negara tanpa konsen dari cabang kekuasaan negara lainnya. Apalagi kondisi ini juga sudah termaktub dalam pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan MK Nomor 132/PUU-XII/2015.

Ketiga, selama 3 (tiga) tahun perjalanan pemerintahan Presiden Jokowi, setidaknya telah diterbitkan 4 perppu; yang bersamaan dalam 2 (dua) bulan terakhir ini pemerintah telah menerbitkan 2 Perppu, dalam kondisi keamanan dan politik yang tidak genting apalagi memaksa. PSHTN FHUI menilai hal ini menunjukkan indikasi adanya hubungan yang tidak baik antara Presiden dengan DPR dalam proses pembentukan legislasi, karena Presiden terkesan ingin bypass dalam menerbitkan suatu norma undang-undang dengan menggunakan baju Perppu.

Keempat, dalam pertimbangannya, pemerintah ingin menerapkan asas contrarius actus dalam Perppu Ormas. Asas itu secara singkat menjelaskan bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau memberikan pengesahan terhadap ormas juga berwenang membatalkannya. Penerapan asas itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak paham mengenai perbedaan antara izin dan pengesahan. Dalam penerbitan izin, memang pemberi izin dapat serta merta mencabut izin dengan syarat tertentu. Tapi khusus untuk pengesahan, kecuali ada syarat formil yang dapat membatalkan pengesahan tersebut, instansi yang mengeluarkan pengesahan tidak dapat serta merta mencabutnya. Apalagi dengan menggunakan tafsir subjektif pemerintah.

Kelima, logika yang digunakan pemerintah dengan menggunakan asas contrarius actus tersebut sangat berpotensi juga digunakan untuk jenis badan hukum lainnya yang membutuhkan pengesahan dari pemerintah seperti Yayasan dan Partai Politik. (MNM/Salam-Online)

Baca Juga